Frankfurt, PCIM Jerman – Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jerman memulai kembali program pengajian rutin dengan semangat baru. Kajian perdana bertema Sirah Nabawiyah menghadirkan Ustaz Arief Rif’an dari Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kegiatan yang digelar secara daring pada Sabtu 11 Oktober 2025 ini diikuti oleh kader diaspora Muhammadiyah dari berbagai kota di Jerman, termasuk Frankfurt, München, dan Berlin. Pengajian ini juga menandai salah satu kegiatan dakwah dan pembinaan ideologis bagi komunitas diaspora Muhammadiyah Indonesia di Jerman. Sebagaimana ditegaskan oleh panitia, kegiatan ini bukan sekadar ruang belajar agama, tetapi juga bentuk ikhtiar epistemik untuk menghidupkan kembali semangat kenabian di tengah kehidupan modern dan kosmopolitan diaspora Muslim di eropa khususnya Jerman.
Menghidupkan Tradisi Ilmiah di Tanah Rantau
Dalam sambutan pembuka, Ustaz Alda, Ketua PCIM Jerman yang kini menempuh studi doktoral di Universitas Goethe Frankfurt, menekankan bahwa Sirah Nabawiyah merupakan fondasi spiritual sekaligus ideologis gerakan Muhammadiyah.
“Nama Muhammadiyah sendiri bersumber dari nama Nabi Muhammad SAW. Maka terasa janggal bila seorang Muhammadiyah tidak mengenal Nabinya,” ujarnya.
Menurutnya, kegiatan ini lahir dari kegelisahan akan generasi Muslim modern yang semakin jauh dari figur teladan Rasulullah SAW. Ia menyayangkan banyak umat Islam yang lebih mengenal tokoh-tokoh populer global dibanding sosok Nabinya sendiri.
“Bagaimana mungkin kita berharap mendapat syafaat Nabi jika kita bahkan tidak memahami bagaimana beliau hidup dan berjuang?” tambahnya.
Ia berharap, pengajian rutin Sirah Nabawiyah dapat menjadi ruang kontemplasi dan pembentukan kesadaran historis di kalangan diaspora, agar nilai-nilai Islam berkemajuan dapat tumbuh dari pemahaman yang bersumber langsung dari sejarah Rasul.
Ustaz Arief: Belajar Sirah Bukan Sekadar Menghafal Kronologi
Dalam pengantarnya, Ustaz Arief Rif’an menjelaskan bahwa Sirah Nabawiyah tidak hanya menceritakan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, tetapi juga membentuk cara pandang tentang bagaimana Islam diturunkan, dijalankan, dan diwariskan.
“Sirah bukan sekadar biografi, tetapi cermin peradaban wahyu,” ujarnya. Menurutnya, memahami sirah berarti menelusuri relasi antara sejarah sosial, nilai tauhid, dan transformasi etis dalam kehidupan manusia.
Sebagai rujukan utama, Ustaz Arief menggunakan kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, yang pada tahun 1975 memenangkan kompetisi penulisan sejarah Nabi yang diselenggarakan Rabithah al-Alam al-Islami di Islamabad, Pakistan. Karya tersebut dianggap monumental karena menyajikan Sirah secara terstruktur, kronologis, dan berbasis sumber-sumber hadis yang sahih. Ustaz Arief menjelaskan, kitab ini membagi sejarah Nabi menjadi dua bagian besar:
- Periode sebelum kelahiran Nabi, mencakup sejarah bangsa Arab, struktur sosial, dan genealogi keluarga Quraisy.
- Periode setelah kelahiran Nabi, yang dibagi lagi menjadi masa pra-kenabian (40 tahun) dan masa kenabian (23 tahun), terdiri atas 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah.
“Pendekatan dua lapis ini penting karena menempatkan kenabian bukan sebagai peristiwa ajaib yang terpisah dari sejarah manusia, tetapi sebagai proses panjang pembentukan moral, sosial, dan spiritual,” jelasnya.






Resume Materi Kajian
1. Garis Keturunan dan Struktur Sosial Arab
Ustaz Arief memulai dengan menjelaskan genealogis Rasulullah SAW melalui tiga figur penting: Hasyim, Abdul Muthalib, dan Abdullah.
- Hasyim (Amr bin Abdi Manaf) adalah kakek buyut Rasulullah dan pelopor sistem perdagangan Quraisy. Ia dikenal karena kebijaksanaannya menyusun rotasi perjalanan dagang musim panas dan dingin, serta karena kepeduliannya memberi makan jamaah haji. Dari kebiasaannya meremukkan roti kering untuk dibuat bubur (sarit), ia dijuluki Hasyim (si peremuk roti).
- Abdul Muthalib, cucu Hasyim, dikenal karena menemukan kembali sumur Zamzam melalui mimpi dan memimpin Quraisy menghadapi pasukan bergajah Abraha.
- Abdullah, putra Abdul Muthalib, wafat sebelum Nabi lahir, meninggalkan amanah suci bagi kelahiran Rasul terakhir.
Dalam bagian ini, Ustaz Arief menekankan pentingnya membaca konteks sosial bangsa Arab pra-Islam: masyarakat nomaden yang keras, hidup di padang tandus tanpa sungai, dan memiliki ikatan kesukuan yang kuat. Struktur masyarakat seperti ini membentuk karakter keberanian dan solidaritas, tetapi juga menumbuhkan kesombongan kabilah yang kelak diluruskan oleh dakwah Islam.
2. Kelahiran Nabi dan Keadaan Makkah
Rasulullah SAW lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah, tahun di mana pasukan Abraha menyerang Ka‘bah. Dalam pandangan Ustaz Arief, peristiwa Ashhabul Fiil bukan sekadar kisah historis, tetapi simbol awal runtuhnya dominasi kekuasaan material atas kekuasaan Ilahi.
Nabi disusui oleh tiga perempuan: ibundanya Aminah, budak Abu Lahab Suwaibah, dan ibu susuannya Halimah As-Sa’diyah dari Bani Sa’ad. Tradisi penyusuan ini, kata beliau, menunjukkan kesadaran masyarakat Arab akan pentingnya lingkungan sosial dan bahasa yang baik bagi pembentukan karakter anak.
3. Peristiwa Pembelahan Dada (Syakku Shadr)
Inti dari kajian ini terletak pada penjelasan mendalam tentang peristiwa pembelahan dada Nabi oleh malaikat Jibril. Berdasarkan hadis sahih riwayat Muslim dari Anas bin Malik, Jibril mendatangi Nabi kecil yang sedang bermain, lalu membelah dadanya, mengeluarkan segumpal darah, dan mencucinya dengan air Zamzam.
“Dalam bahasa Arab, qalb berarti jantung secara fisik, sementara kabid berarti hati. Maka yang dibersihkan adalah pusat kesadaran spiritual, bukan sekadar organ biologis,” terang Ustaz Arief.
Pendekatan yang mencoba menguji peristiwa tersebut secara empiris tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk tradisi metodologis ini. Peristiwa ini termasuk mukjizat hissiyah—fenomena yang melampaui hukum alam. Mengujinya dengan metodologi laboratorium modern adalah keliru secara epistemik. Islam memiliki ilmu sanad dan matan untuk memverifikasi kebenaran riwayatnya.
4. Hikmah Spiritual dan Relevansi Pendidikan
Dari peristiwa ini, Ustaz Arief mengambil pelajaran penting: perlindungan ilahi terhadap Rasul sudah dimulai sejak masa kanak-kanak, menunjukkan bahwa kemurnian spiritual tidak terjadi secara kebetulan, tetapi merupakan anugerah dan peneguhan wahyu.
Beliau kemudian menghubungkan peristiwa itu dengan ayat Ali Imran 33–36, tentang doa keluarga Imran agar Maryam dan keturunannya dilindungi dari gangguan setan. Ia menyebut, “Doa perlindungan sejak dini merupakan tradisi keluarga para nabi, sebagaimana Ibrahim memohon perlindungan bagi Ismail dan Ishaq. Rasulullah sendiri membaca doa yang sama untuk cucunya, Hasan dan Husain.”
Ustaz Arief menyimpulkan, pelajaran dari Sirah ini relevan bagi pendidikan anak Muslim masa kini. Orang tua, katanya, hendaknya tidak hanya menyediakan pendidikan akademik, tetapi juga membangun proteksi spiritual agar anak-anak tidak mudah dikuasai nilai-nilai sekuler yang menjauhkan dari fitrah iman.
Tanya Jawab
Dalam sesi tanya jawab, jamaah mengajukan pertanyaan menarik: apakah kisah seperti pembelahan dada Nabi memiliki bukti ilmiah atau hanya bersifat simbolik?
Ustaz Arief menjawab bahwa disiplin ilmu sejarah Islam memiliki metodologi tersendiri—ulum al-hadith dan ulum al-nasab—yang berfungsi memverifikasi keaslian riwayat melalui analisis sanad (rantai periwayat) dan matan (isi teks). Dalam ilmu hadis, objektivitas tidak diukur melalui eksperimen, tetapi melalui kredibilitas transmisi dan konsistensi riwayat. Inilah epistemologi Islam yang berdiri sejajar dengan sains modern, bukan inferior terhadapnya. Begitulah kurang lebih begitu penjelasannya seperti yang kami rangkum dalam resume ini.
Diskusi juga menyinggung konteks budaya penyusuan di Arab kuno. Tradisi menitipkan bayi kepada keluarga Badui, seperti yang dilakukan oleh Aminah kepada Halimah As-Sa’diyah, menurut Ustaz Arief, adalah strategi sosial untuk memperkuat fisik, memperhalus bahasa, dan menanamkan kesederhanaan. “Rasul tumbuh dalam lingkungan yang keras tapi bersih dari kemewahan. Itulah sekolah pertama pembentukan karakter kenabian,” tambahnya.
Sirah sebagai Cermin Etika dan Epistemologi Dakwah
Setelah memaparkan aspek historis, Ustaz Arief membawa jamaah pada refleksi moral. Baginya, Sirah Nabawiyah bukan hanya catatan masa lalu, tetapi juga perangkat epistemologis untuk memahami Islam sebagai gerakan sosial. Dakwah Nabi bukan dimulai dari mimbar, tetapi dari rumah. Dari cara beliau disusui, diasuh, hingga diuji oleh kesepian. Semuanya membentuk mentalitas sabar, visioner, dan welas asih yang menjadi fondasi Islam berkemajuan. Ia menambahkan, Muhammadiyah sejak awal berdiri menempatkan Sirah Nabi sebagai landasan teologis dalam menyusun ideologi Islam berkemajuan. Gerakan ini lahir dari semangat untuk melanjutkan misi kenabian: memerdekakan manusia dari kebodohan dan kesyirikan menuju keadaban ilmu dan amal.
Refleksi Dari Pengajian ke Pembentukan Kesadaran Ummah
Di akhir sesi, moderator Fachry Aidulsyah, Mahasiswa Doktoral Free University of Berlin mengajak peserta untuk menjadikan pengajian ini bukan sekadar rutinitas, tetapi proses membangun kesadaran historis dan moral di tengah kehidupan diaspora. Sirah Nabawiyah mengajarkan bahwa menjadi umat Rasul berarti meneladani cara beliau berpikir, bekerja, dan mencintai umatnya.
Acara diakhiri dengan pembacaan istighfar dan doa kafaratul majlis. Panitia menyampaikan bahwa seri kajian Sirah Nabawiyah akan dilanjutkan dua pekan sekali dan akan direkam untuk diunggah ke kanal resmi PCIM Jerman agar dapat diakses publik. PCIM Jerman menegaskan komitmennya untuk menjadikan pengajian rutin ini sebagai wadah penguatan ideologi Islam berkemajuan di kalangan diaspora. Melalui pendekatan ilmiah, spiritual, dan reflektif, Muhammadiyah diharapkan dapat terus menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat global.
“Semoga Allah menanamkan cinta yang sejati kepada Rasulullah di hati kita semua. Cinta itu tidak cukup diucapkan, tetapi harus dihidupkan dalam perilaku, dalam kerja dakwah, dan dalam kesediaan menebar rahmat di mana pun kita berada.”
——-
Resensi, resume dan catatan ini ditulis oleh Ilham Akhsanu Ridlo, Mahasiswa Doktoral LMU, München. Jika ada ketidaktepatan pemaknaan dan juga koreksi lain yang penting dan perlu untuk diubah. Dapat menghubungi yang bersangkutan di sosial media instagram PCIM Jerman (pcim_jermanraya).











